Hamparan sawah adalah permadani surga yang Tuhan bentangkan di bumi-Nya terutama di bumi Nusantara. Sawah selalu tampak indah, menyentuh dan menyuguhkan kedamaian. Warnanya yang hijau menyejukkan mata, sedangkan yang kuning kilau keemasan adalah wajah keceriaan dan sumringah para petani yang segera akan memetik hasil panennya.
Sawah adalah sebuah bahasa. Bahasa alam yang perlu kita respon, nikmati dan syukuri. Berdialog dengan hamparan sawah adalah berdialog dengan kesunyian, keindahan dan kemurahan Tuhan. Seorang sobat bule dari Utreh Belanda, ketika melihat pemandangan sawah yang damai, dengan airnya yang jernih, dengan jembatan bambunya yang bersahaja, dengan pancuran airnya yang segar, dan dengan latar belakang gunungnya yang membiru, ia berujar lirih: “This is the heaven. This the peaceful place I want to live in.” Tentu saja karena Eropa tidak punya sawah.
Betapa indahnya negeri ini, walau puluhan tahun dikelola dengan salah kaprah sehingga sawah bukan melambangkan kemakmuran malah menyimbolkan kemiskinan struktural secara turun-temurun. Namun, apapun, sawah dengan hamparannya yang indah adalah sebuah angurah. Anugrah yang patut kita syukuri tak henti-henti. Terima kasih Tuhaaan… terima kasih ya Allah atas anugrah keindahan ini…..!!
kalau saya sih orang kampung ya, jadi jelas setiap hari saya bisa melihat indahnya pemandangan di sawah dan menikmati udara segar di pesawahan, nah lo kalo kalian orang kota apakah bisa menikmati indahnya pemandangan sawah dan udara yang segar di pesawahan ? ya meskipun ada pesawahan apakah masih sesegar pesawahan di kampung ? hmmm
yaa meskipun kalian gak bisa menikmati indahnya udara di pesawahan minimal kalian liat gambar pemandangan sawah nya aja deh, biar lo makin cinta ma indonesia, karena indonesia negara paling kaya alam nya. Oke, berikut ini kumpulan gambar pemandangan sawah yang bisa anda jadikan sebagai wallpaper pada komputer anda atau gadget kesayangan anda.
Keindahan Sawah yang
Menenangkan
28 Juli 2012 16:27:38 Diperbarui: 25 Juni 2015 02:30:44 Dibaca : 1,241
Komentar : 0 Nilai : 0
Hijau kuning yang begitu indah. Burung-burung kecil terbang bebas
kesana-kemari. Angin berhembus tak terlalu kencang, tak sekencang angin
di lepas pantai, bagai penerima tamu yang tak berwujud menyapa hangat
pengunjung. Ia menyapukan lelah dan penat yang berserakan di benak
pikiran akibat aktifitas di kantor seharian. Sungguh itu pemandangan
yang sulit ditemukan, bahkan kalau di kota, itu sudak tak ada. Semakin
larut memandanginya, semakin cantik dia. Belum lagi ia semakin
dipercantik dengan warna biru khas di langit yang begitu cerah yang
ditemani oleh kilauan cahaya dari sinar-sinar terakhir mentari di sore
itu. Tampak seorang lelaki paruh baya memakai topi bundar dengan bagian
atas membentuk kerucut yang agak lebar memayungi kepalanya. Topi yang
biasa dikenal orang sebagai topi “Pak Tani”. Lelaki itu sedang
membungkuk. Entah apa yang ia kerjakan. Mungkin sedang membersihkan
padi-padinya. Tidak terlalu jelas, karena ia berada di tengah-tengah
sawah. Ia membungkuk sangat lama seperti tak kenal lelah. Mungkin karena
ia dipacu oleh gelimangan semangat. Apalagi padi-padinya sebentar lagi
siap untuk dipanen. “Salut sama Pak Tani,” ucapku dalam hati.
Ku arahkan pandanganku kembali ke bentangan sawah yang cukup luas itu.
Terlihat ada kelompok wanita di tepian sawah. Mereka memakai topi yang
sama dengan yang “Pak Tani” tadi pakai. Mereka tampak seperti sebuah
keluarga. Sangat hangat kebersamaan mereka, diiringi dengan tawa. Mereka
sedang berjalan sambil membawa karung bekas yang sudah robek.
Masing-masing karung yang mereka bawa berisi sayuran. Terlihat mereka
membawa kangkung. Yang aku tahu itu kangkung. Aku tak sempat menanyakan
kepada mereka karena harus meneruskan perjalanan pulang. Jam tanganku
menunjukkan pukul 17.35. Aku harus melanjutkan perjalanan pulang karena
akan berbuka puasa di rumah.
Cerita pendek di atas adalah sekilas gambaran dari apa yang penulis
lihat ketika dalam perjalanan menuju rumah di kampung, berhenti di
sebuah hamparan sawah. Waktu itu Sabtu sore pukul 17.15. Saya berhenti
sejenak ketika dipanggil oleh indahnya pemandangan sawah dengan
kombinasi warna hijau-kuning keemasan di sore itu. Padi-padi sudah mulai
tampak mencapai umur matangnya. Mungkin tinggal menunggu hitungan hari,
padi-padi itu sudah akan dipanen. Pemandangan itu sangat menenangkan
hati. Sangat berlawanan dengan kondisi di kota dimana begitu sesak,
polusi, dan kendaraan bermotor yang berjubel-jubel. Semoga saja
pemandangan seperti ini akan tetap ada selamanya. Jangan sampai ia
menjadi korban arus urbanisasi yang begitu dahsyat.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/aboelammar/keindahan-sawah-yang-menenangkan_551295ce813311515abc5fe1
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/aboelammar/keindahan-sawah-yang-menenangkan_551295ce813311515abc5fe1
Keindahan Sawah yang
Menenangkan
28 Juli 2012 16:27:38 Diperbarui: 25 Juni 2015 02:30:44 Dibaca : 1,241
Komentar : 0 Nilai : 0
Hijau kuning yang begitu indah. Burung-burung kecil terbang bebas
kesana-kemari. Angin berhembus tak terlalu kencang, tak sekencang angin
di lepas pantai, bagai penerima tamu yang tak berwujud menyapa hangat
pengunjung. Ia menyapukan lelah dan penat yang berserakan di benak
pikiran akibat aktifitas di kantor seharian. Sungguh itu pemandangan
yang sulit ditemukan, bahkan kalau di kota, itu sudak tak ada. Semakin
larut memandanginya, semakin cantik dia. Belum lagi ia semakin
dipercantik dengan warna biru khas di langit yang begitu cerah yang
ditemani oleh kilauan cahaya dari sinar-sinar terakhir mentari di sore
itu. Tampak seorang lelaki paruh baya memakai topi bundar dengan bagian
atas membentuk kerucut yang agak lebar memayungi kepalanya. Topi yang
biasa dikenal orang sebagai topi “Pak Tani”. Lelaki itu sedang
membungkuk. Entah apa yang ia kerjakan. Mungkin sedang membersihkan
padi-padinya. Tidak terlalu jelas, karena ia berada di tengah-tengah
sawah. Ia membungkuk sangat lama seperti tak kenal lelah. Mungkin karena
ia dipacu oleh gelimangan semangat. Apalagi padi-padinya sebentar lagi
siap untuk dipanen. “Salut sama Pak Tani,” ucapku dalam hati.
Ku arahkan pandanganku kembali ke bentangan sawah yang cukup luas itu.
Terlihat ada kelompok wanita di tepian sawah. Mereka memakai topi yang
sama dengan yang “Pak Tani” tadi pakai. Mereka tampak seperti sebuah
keluarga. Sangat hangat kebersamaan mereka, diiringi dengan tawa. Mereka
sedang berjalan sambil membawa karung bekas yang sudah robek.
Masing-masing karung yang mereka bawa berisi sayuran. Terlihat mereka
membawa kangkung. Yang aku tahu itu kangkung. Aku tak sempat menanyakan
kepada mereka karena harus meneruskan perjalanan pulang. Jam tanganku
menunjukkan pukul 17.35. Aku harus melanjutkan perjalanan pulang karena
akan berbuka puasa di rumah.
Cerita pendek di atas adalah sekilas gambaran dari apa yang penulis
lihat ketika dalam perjalanan menuju rumah di kampung, berhenti di
sebuah hamparan sawah. Waktu itu Sabtu sore pukul 17.15. Saya berhenti
sejenak ketika dipanggil oleh indahnya pemandangan sawah dengan
kombinasi warna hijau-kuning keemasan di sore itu. Padi-padi sudah mulai
tampak mencapai umur matangnya. Mungkin tinggal menunggu hitungan hari,
padi-padi itu sudah akan dipanen. Pemandangan itu sangat menenangkan
hati. Sangat berlawanan dengan kondisi di kota dimana begitu sesak,
polusi, dan kendaraan bermotor yang berjubel-jubel. Semoga saja
pemandangan seperti ini akan tetap ada selamanya. Jangan sampai ia
menjadi korban arus urbanisasi yang begitu dahsyat.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/aboelammar/keindahan-sawah-yang-menenangkan_551295ce813311515abc5fe1
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/aboelammar/keindahan-sawah-yang-menenangkan_551295ce813311515abc5fe1
Hijau kuning yang begitu indah. Burung-burung kecil terbang bebas
kesana-kemari. Angin berhembus tak terlalu kencang, tak sekencang angin
di lepas pantai, bagai penerima tamu yang tak berwujud menyapa hangat
pengunjung. Ia menyapukan lelah dan penat yang berserakan di benak
pikiran akibat aktifitas di kantor seharian. Sungguh itu pemandangan
yang sulit ditemukan, bahkan kalau di kota, itu sudak tak ada. Semakin
larut memandanginya, semakin cantik dia. Belum lagi ia semakin
dipercantik dengan warna biru khas di langit yang begitu cerah yang
ditemani oleh kilauan cahaya dari sinar-sinar terakhir mentari di sore
itu. Tampak seorang lelaki paruh baya memakai topi bundar dengan bagian
atas membentuk kerucut yang agak lebar memayungi kepalanya. Topi yang
biasa dikenal orang sebagai topi “Pak Tani”. Lelaki itu sedang
membungkuk. Entah apa yang ia kerjakan. Mungkin sedang membersihkan
padi-padinya. Tidak terlalu jelas, karena ia berada di tengah-tengah
sawah. Ia membungkuk sangat lama seperti tak kenal lelah. Mungkin karena
ia dipacu oleh gelimangan semangat. Apalagi padi-padinya sebentar lagi
siap untuk dipanen. “Salut sama Pak Tani,” ucapku dalam hati.
Ku arahkan pandanganku kembali ke bentangan sawah yang cukup luas itu.
Terlihat ada kelompok wanita di tepian sawah. Mereka memakai topi yang
sama dengan yang “Pak Tani” tadi pakai. Mereka tampak seperti sebuah
keluarga. Sangat hangat kebersamaan mereka, diiringi dengan tawa. Mereka
sedang berjalan sambil membawa karung bekas yang sudah robek.
Masing-masing karung yang mereka bawa berisi sayuran. Terlihat mereka
membawa kangkung. Yang aku tahu itu kangkung. Aku tak sempat menanyakan
kepada mereka karena harus meneruskan perjalanan pulang. Jam tanganku
menunjukkan pukul 17.35. Aku harus melanjutkan perjalanan pulang karena
akan berbuka puasa di rumah.
Cerita pendek di atas adalah sekilas gambaran dari apa yang penulis
lihat ketika dalam perjalanan menuju rumah di kampung, berhenti di
sebuah hamparan sawah. Waktu itu Sabtu sore pukul 17.15. Saya berhenti
sejenak ketika dipanggil oleh indahnya pemandangan sawah dengan
kombinasi warna hijau-kuning keemasan di sore itu. Padi-padi sudah mulai
tampak mencapai umur matangnya. Mungkin tinggal menunggu hitungan hari,
padi-padi itu sudah akan dipanen. Pemandangan itu sangat menenangkan
hati. Sangat berlawanan dengan kondisi di kota dimana begitu sesak,
polusi, dan kendaraan bermotor yang berjubel-jubel. Semoga saja
pemandangan seperti ini akan tetap ada selamanya. Jangan sampai ia
menjadi korban arus urbanisasi yang begitu dahsyat.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/aboelammar/keindahan-sawah-yang-menenangkan_551295ce813311515abc5fe1
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/aboelammar/keindahan-sawah-yang-menenangkan_551295ce813311515abc5fe1
Hijau kuning yang
begitu indah. Burung-burung kecil terbang bebas kesana-kemari. Angin
berhembus tak terlalu kencang, tak sekencang angin di lepas pantai,
bagai penerima tamu yang tak berwujud menyapa hangat pengunjung. Ia
menyapukan lelah dan penat yang berserakan di benak pikiran akibat
aktifitas di kantor seharian. Sungguh itu pemandangan yang sulit
ditemukan, bahkan kalau di kota, itu sudak tak ada. Semakin larut
memandanginya, semakin cantik dia. Belum lagi ia semakin dipercantik
dengan warna biru khas di langit yang begitu cerah yang ditemani oleh
kilauan cahaya dari sinar-sinar terakhir mentari di sore itu. Tampak
seorang lelaki paruh baya memakai topi bundar dengan bagian atas
membentuk kerucut yang agak lebar memayungi kepalanya. Topi yang biasa
dikenal orang sebagai topi “Pak Tani”. Lelaki itu sedang membungkuk.
Entah apa yang ia kerjakan. Mungkin sedang membersihkan padi-padinya.
Tidak terlalu jelas, karena ia berada di tengah-tengah sawah. Ia
membungkuk sangat lama seperti tak kenal lelah. Mungkin karena ia dipacu
oleh gelimangan semangat. Apalagi padi-padinya sebentar lagi siap untuk
dipanen. “Salut sama Pak Tani,” ucapku dalam hati.
Ku arahkan pandanganku kembali ke bentangan sawah yang cukup luas itu.
Terlihat ada kelompok wanita di tepian sawah. Mereka memakai topi yang
sama dengan yang “Pak Tani” tadi pakai. Mereka tampak seperti sebuah
keluarga. Sangat hangat kebersamaan mereka, diiringi dengan tawa. Mereka
sedang berjalan sambil membawa karung bekas yang sudah robek.
Masing-masing karung yang mereka bawa berisi sayuran. Terlihat mereka
membawa kangkung. Yang aku tahu itu kangkung. Aku tak sempat menanyakan
kepada mereka karena harus meneruskan perjalanan pulang. Jam tanganku
menunjukkan pukul 17.35. Aku harus melanjutkan perjalanan pulang karena
akan berbuka puasa di rumah.
Cerita pendek di atas adalah sekilas gambaran dari apa yang penulis
lihat ketika dalam perjalanan menuju rumah di kampung, berhenti di
sebuah hamparan sawah. Waktu itu Sabtu sore pukul 17.15. Saya berhenti
sejenak ketika dipanggil oleh indahnya pemandangan sawah dengan
kombinasi warna hijau-kuning keemasan di sore itu. Padi-padi sudah mulai
tampak mencapai umur matangnya. Mungkin tinggal menunggu hitungan hari,
padi-padi itu sudah akan dipanen. Pemandangan itu sangat menenangkan
hati. Sangat berlawanan dengan kondisi di kota dimana begitu sesak,
polusi, dan kendaraan bermotor yang berjubel-jubel. Semoga saja
pemandangan seperti ini akan tetap ada selamanya. Jangan sampai ia
menjadi korban arus urbanisasi yang begitu dahsyat.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/aboelammar/keindahan-sawah-yang-menenangkan_551295ce813311515abc5fe1
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/aboelammar/keindahan-sawah-yang-menenangkan_551295ce813311515abc5fe1